Flores, su dekat…

Sepertinya telah tercatat di skenario hidup jika kali ini saya kembali menapakan kaki di pulau Flores, setelah kali pertama di tahun 2012 mengunjungi  tempat pengasingan Soekarno dan pohon sukun tempat lahirnya Pancasila (Ende).

Image

Image

Tujuan perjalanan kali ini adalah ke Ruteng, sebuah kota bercuaca paradoks dengan daerah lain di NTT yang terkenal gersang. Temperatur udara sejuk di siang hari dan di malam hari dinginnya semakin menusuk kulit, seakan cocok menjadi labirin pelarian dari panas penatnya hutan beton ibu kota. Sebagai traveller plat merah, tujuan utama ke Ruteng pastinya untuk tugas (temporer) negara, tepatnya in-depth interview atau wawancara mendalam kepada responden yang jujur menuangkan kegalauannya pada organisasi dengan fokus pendalaman pada titik kritis yang mempengaruhi kadar engagement-nya. Keramahan dan kebersamaan mereka di KPPN Ruteng adalah selimut penghangatku selama disana.

Image

Formasinya dihuni talent yang luar biasa dan saya kira mereka akan bersinar dan lebih matang kedepannya. Dari yang saya ajak berinteraksi dan konfirmasi, aspek teknis pekerjaan tidak ada kendala berarti dan satu sama lain saling mengisi. Di luar lingkungan kerja, dari mereka ada yang suka adventure, kreatif, tidak mengeluh, beradaptasi tinggi dengan mencoba memahami budaya dan kearifan lokalnya serta adapula yang mengusir kesepiannya dengan petikan gitar, cekidot http://www.youtube.com/user/MrAsbun, We are so proud of you all… ditunggu tantangannya, buktikan…

Image

Disana seakan menjadi tempat kencan berkesan bagi saya dengan si eksotis coklat kehitaman yang saya temui sedang telanjang berjemur di depan rumahnya. Kopi Flores merupakan salah satu andalan kopi nusantara yang berkualitas tinggi dan harumnya di pasar global tak kalah dari kopi Gayo, Sidikalang, Kintamani dan Papua. Esspresso porsi ganda pada sesi utama dan tubrukan di sesi lainnya menjadi pelarut pembicaraan kami tentang segala hal bermakna, dari mulai pekerjaaan sampai filosofi kehidupan yang dalam dan mesti kita syukuri.

Image

Kritisi dari mereka tentang tambahan tugas yang tidak sejalan dengan konsep paperless dan let’s the managers manage, penambahan fungsi kepatuhan yang semestinya tidak perlu terurai sampai ke kantor pelayanan, cost and benefit antara KPPN remote area dengan filial dan tentunya pola mutasi menjadi menu diskusi kami. Sedapat mungkin oleh-oleh dari mereka akan disampaikan kepada pemangku kebijakan dan semoga direspon dengan tindakan konkrit yang dapat terasa manfaat positifnya.

Sekarang mari kita berputar arah ke jalur non kedinasan. Pandangan pertamaku langsung tertuju ke sebuah danau tiga warna dan pernah menjadi gambar pada uang 5.000. di tahun 90an (Danau Kelimutu), ternyata pesawat yang saya tumpangi terbang melintasinya, sayang jika tidak dijeperet dan membaginya.

Image

Provinsi NTT dianugerahi destinasi wisata yang mempesona dan seakan melambaikan tangan kepada wisatawan untuk datang kesana, misalnya rumah adat Wae Rebo yang telah dinobatkan menjadi warisan budaya dunia dari UNESCO, pulau Komodo yang lagi happening dan keindahan bawah laut pulau Alor, semoga lain kali bisa kesana. Begitu indahnya Indonesia…

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni

@ruteng, flores NTT

sintesa rasa, fantasi makna

sintesa makna

salam untuk isterimu

isteriku juga salam untukmu

salam untuk suamimu

suamiku juga salam untukmu

 

aku tak tahan mencium aromanya

si eksotis ini buatku kecanduan

tak sabar melumatnya pelan-pelan

 

segera habiskan, kita ke peraduan

saatnya tunaikan hasrat terpendam

siapkan lidah, rasakan kenikmatan

 

karena disaat kau terlelap, ku terjaga

merebahkan raga, mengangankan dia

bersintesa rasa, berfantasi makna

 

serasa kering kerontang meradang

tak ada lubrikasi

hanya bercumbu, ku bersenggama terputus

 

meraba sampai meregang

mengalun terdengar erangan keluh

jangan…, jangan hentikan, teruskan…

 

biarkan aku yang kendalikan

biarkan kita bertukar peran, aku diatas kamu dibawah

biarkan di dalam, jangan di luar

 

pagutkan bersama, ayunkan seirama

sudah…, aku sudah mau keluar

tahan sejenak, keluarkan bersama

 

sampai sinar mentari pagi mengecup jendela

terima kasih atas orgasmenya

sampai jumpa cinta …

 

tahan bersama, keluarkan sejenak

keluar…, aku sudah tidak mau

ayunkan pagut, bersama seirama

 

aku tidak mau dikendalikan

kita tak bisa bertukar peran, kamu dibawah aku tetap diatas

jangan di dalam, biarkan di luar

 

jangan teruskan, hentikan…

meraba tak hingga meregang

erangan keluh jangan terdengar mengalun

 

ku bersenggama tanpa terputus mencumbu

ada lubrikasi

tak terasa  meradang kering kerontang

 

fantasi makna antarkan sintesa rasa

mengingat saat merebahkan raga

karena disaat ku terlelap, kau kuterjaga

 

sinar mentari mengecup jendela tak sampai pagi

terima kasih cinta  

sampai jumpa orgasmenya…

 

 siapkan kenikmatan, rasakan lidahnya

saatnya memendam hasrat tak tertunai

segera ke peraduan, kita habiskan

 

ku melumatnya pelan-pelan dengan sabar

kecanduan ini bikin ku merasa eksotis

aku tahan untuk tak mencium aromanya

 

salam untuk suamimu

suamiku juga salam untukmu

salam untuk isterimu

isteriku juga salam untukmu

 

* dilarang berfikir cabul stensilan, hanya bermain kata mengurai alur, jangan dianggap ngelantur, melihat gesture tahan lidah menjulur, hanya menuangkan jangan melakukan, hanya bersintesa tanpa dalam makna, hanya berfantasi jangan bersekresi.

 

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni

 

@javabeancoffee, Jaksel

Mosi Tidak Percaya

mosi

ini masalah kuasa, alibimu berharga

 kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?

kamu tak berubah, selalu mencari celah

lalu smakin parah, tak ada jalan tengah

jelas kalau kami marah, kamu dipercaya susah

pantas kalau kami resah, sebab argumenmu payah

kamu ciderai janji, luka belum terobati

 kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli

—janjimu pelan pelan akan menelanmu—

ini mosi tidak percaya,

 jangan anggap kami tak berdaya

 ini mosi tidak percaya,

kami tak mau lagi diperdaya

Untaian lirik berdaya ledak tinggi dari band indie (Efek Rumah Kaca) yang mempunyai kepekaan dan ketajaman, sangat jarang kita temui setelah era Iwan Fals. Mereka tidak tergoda candu industrialisasi musik yang hanya akan menegasi idealismenya, semoga kita mulai dewasa mengapresiasi karya seni anak negeri.

Kepercayaan adalah barang berharga dengan bandrol beraneka nilai, jaga kepercayaan jika kita mendapatkannya, jangan sampai kita menggelar karpet merah kepada orang yang tidak terpercaya. Silahkan terjemahkan menurut persepsi masing-masing.

 

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni

 

@kebagusancity, Jaksel

 

 

Mosi Tidak Percaya

Salah satu lagu terbaik yang kusuka

I’m an alien, I’m a legal alien…

Sebuah lagu yang langsung saya putuskan jadi playlist jalan hidup sejak kali pertama mendengarnya. Dibawakan oleh Sting, mantan bassis The Police yang dianugerahi suara indah berkarakter kuat. Lengkingan suaranya teridentifikasi jernih hanya dengan memejamkan mata saja, tanpa harus melihat rupanya. Aroma jazz yang santai dan berimprovisasi namun penuh perhitungan rumit, memperkaya musikalitas lagu ini. Ditambah lirik yang menghipnotis untuk mengulik tafsirnya menjadi magnet kemewahan.

englishman

“Englishman In New York”

I don’t drink coffee I take tea my dear
I like my toast done on one side
And you can hear it in my accent when I talk
I’m an Englishman in New York

See me walking down Fifth Avenue
A walking cane here at my side
I take it everywhere I walk
I’m an Englishman in New York

I’m an alien I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York
I’m an alien I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York

If, “Manners maketh man” as someone said
Then he’s the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say

Modesty, propriety can lead to notoriety
You could end up as the only one
Gentleness, sobriety are rare in this society
At night a candle’s brighter than the sun

Takes more than combat gear to make a man
Takes more than a license for a gun
Confront your enemies, avoid them when you can
A gentleman will walk but never run

Setelah mendengarkannya entah yang ke kali sekian, izinkan saya menggali maknawi lagu ini dan semoga dapat diterima secara universal, harap maklum kalau masih dangkal. Dibuka dengan kebiasaan orang Inggris yang memilih minum teh dari pada kopi, dengan roti bakar yang matang di satu sisi serta aksen yang kentara, adalah pertanda mudah  untuk mengenali seseorang dari mana identitasnya. Kopi sebagai minuman berdaya melek tinggi menjadi sebuah sajian wajib bagi orang Amerika yang egaliter dan beretos kerja tinggi, sedangkan orang Inggris dengan budaya afternoon tea-nya cenderung santai, well-mannered dan priyai.

Seorang Sting mampu berjalan di Fifth Avenue, sebuah jalan elite di kota New York yang disesaki berbagai billboard brand global sebagai altar konsumerisme. Dia membawa tongkat ke manapun dia pergi, menjadi ikonik sebagai warga pendatang yang ternyata mampu juga menggapai simbol-simbol kejayaan daerah setempat tanpa harus mengalami gegar budaya (cultur shocking).

I’m an alien I’m a legal alien, I’m an Englishman in New York adalah pesan utama yang ingin disampaikannya. Kita harus menjadi orang yang unik/aneh (alien) yang mendapat legitimasi dari lingkungannya (legal alien). Dengan kata lain, kita harus bangga menonjolkan identitas kita tanpa malu-malu. Jangan ngaku-ngaku orang Sunda  padahal dari dialek dan diksinya sudah ketebak orang mana. Ya.., I’m a Bantenman in Jakarta.

Perilaku baik akan membentuk seseorang menjadi manusia/orang dewasa (manners maketh man), merupakan penjelasan bahwa sebagai pendatang kita harus menjalani hidup dengan sikap dewasa yang berfikir rasional, intuitif, mampu membedakan yang baik/buruk dan penuh pertimbangan matang. Dengan prilaku dewasa kita akan lebih dianggap/dihormati dan ketika kita menghadapi hal-hal yang baru kita harus menghadapinya dengan senyuman, jangan konfrontatif dan menjustifikasi secara prematur. Kita harus menjadi diri sendiri apapun yang orang lain katakan (be yourself no matter what they said). Seseorang tetap harus punya idealisme dan keunikan, jangan takut untuk memainkan nada yang berbeda, selama kita bisa buktikan bahwa ke-nyeleneh-an kita tetap bisa menciptakan harmoni bercita rasa tinggi, seperti nuansa jazz yang kental dalam lagu ini.

Terkadang di tempat baru kita temui individu yang terkesan baik, namun ternyata menyimpan niat sebaliknya. Sikap santun dan lembut dibutuhkan dalam menghadapi tabiat  buruk warga setempat seperti kebiasaan peminum/sobriety yang digambarkan dalam lagu ini. Kita harus bisa menerima segala kesuraman yang kita lihat di lingkungan yang baru sebagai suatu realitas, tetaplah bersinar walaupun di kegelapan (at night a candle’s brighter than the sun).

Manusia dewasa dinilai bukan dari apa yang disandangnya seperti senjata atau kekuasaan (takes more than combat gear to make a man, takes more than a license for a gun). Untuk hidup lebih aman di negeri orang sangat disarankan jangan mempunyai musuh dan permusuhan. Sebagai seorang yang jantan kita harus menghadapi setiap kenyataan, bukannya berlari dari kenyataan. Begitulah kira-kira tafsir lirik ini, semoga bermanfaat dan menginspirasi.

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni

@J.Coffee, Depok

Englishman in New York

the best playlist item, simak tafsirannya…

Miss Treasury 2013 (beauty, brain, behavior)

Image

Wanita…, mahluk tuhan yang  diagungkan. Namanya sampai diabadikan dalam satu slot khusus surat dalam kitab suci. Kedudukannya sangat tinggi, tiga tingkat dibanding laki-laki dan bisa sangat rendah tergantung perilaku yang ditunjukannya hingga layak dinobatkan sebagai racun dunia. Keanggunan, sex appeal dan inner beauty seorang wanita bagai melengkapi setiap sudut segi tiga B (beauty, brain, behavior) yang diidamkan setiap laki-laki (What Man Want). Saya mungkin tidak mumpuni menulis tentang wanita dari sudut pandang manapun, baik agama maupun feminisme sekuler, tapi saya coba mengupasnya dari pengamatan dunia kerja di Ditjen Perbendaharaan.

Gender bila diartikan sempit-awam yaitu jenis kelamin, kata seorang feminis yang pernah kita undang dalam sebuah hajat tahunan pengelola SDM. Dalam arti luas biarkanlah masing-masing mengartikannya, toh itu cuma definisi, tapi yang pasti ujung-ujungnya kesempatan yang sama dengan laki-laki (emansipasi), walaupun sebenarnya bukan R.A. Kartini tokoh utamanya.  Issue gender seperti menjadi komoditi khusus pemangku kebijakan, sampai dengan saat ini saya masih bingung dengan program Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming) yang oleh Kemenkeu di-PDKT dari aspek penganggaran, karena UIC-nya adalah di Biro Perencanaan dan Keuangan (Rocankeu). Program konkritnya apa yah ?

Dalam angka kepegawaian DJPBN, perbandingannya 32% untuk perempuan berbanding 68% untuk laki-laki, sebuah rasio yang masuk akal jika belum kita intip lebih dalam. Sudah cukup banyak srikandi-srikandi menduduki jabatan penting di Ditjen Perbendaharaan, mulai eselon II sampai dengan eselon IV. Dari level pendidikan, kompetensi dan kinerja juga menunjukan prestasi mengagumkan, lalu masalahnya dimana ?

Komposisi seringkali menjadi PR, karena hal tersebut menentukan formasi dan pencapaian tujuan organisasi. Belum lagi jika kita hadapkan dengan kesempatan pihak lain (pegawai) untuk mencicipi hidangan Perbendaharaan di tempat yang di preferensikan. Analogi sepakbola lagi lagi bermain, saya teringat pada Jose Mourinho yang kebingungan menempatkan Shevcenko karena tidak senyawa dengan Drogba. Karena dia kesayangan sang  taipan, dipaksakan saja bermain padahal tidak ada namanya dalam rancang bangun kesuksesan tim yang pada akhirnya target juara tidak tercapai. Keberanian seorang pelatih untuk tidak memainkan seorang pemain bintang atau kesayangan juga diuji, saya teringat kembali ketika Prancis memboyong Piala Dunia 1998. Ketika itu sang pelatih berani tidak memanggil Eric Cantona dan David Ginola yang menurut publik layak dipanggil. Tapi nalurinya berkata benar, anak-anak muda  itu (Henry, Trezeguet dkk) membayar keraguan publik Prancis dengan mengisi lemari tropi.

Pelajaran yang kita petik adalah  sudah rapihkah komposisi gender kita dan proporsionalkah penyebarannya baik kuantitas maupun kualitasnya ? Yang menjadi titik kritis adalah pemerataan kesempatan dan treatmen yang seringkali  dituntut untuk diberikan privilege bagi sang wanita. Permohonan pindah isteri mengikuti suami sudah ada aturan mainnya, kesempatan berkarir sudah sangat terbuka, bahkan ditawarkan pernyataan kesediaan mobilitas sebagai konsekuensi berkarir. Ironisnya yang kita lihat di lapangan kadang kala mereka memposisikan rendah dengan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mengurus konsumsi, lalu apa bedanya dengan waitress atau OB, mendingan jadi ibu rumah tangga saja kalau demikian. Mereka pun kadang merasa berhak mengkapling tempat (Kantor Pusat/Jawa/Ibu kota provinsi) dengan dalih aspiratif gender dan mengikuti suami, mmm… Lalu masalahnya dimana ?

Miss jinjing, fenomena klasik dan menurut mereka wajar karena secara kodrati wanita suka berbelanja, tapi terlalu melukai pegawai laki-laki jika dilakukan saat jam kantor mereka bekerja sementara pegawai wanita asyik sa’i di pusat perbelanjaan, bukankah hal itu bisa ditunaikan pada waktu weekend dengan keluarga. Imbasnya ketika pekerjaan mereka ditinggalkan dan dibutuhkan maka yang kena getahnya adalah laki-laki yang ada di kantor.

Pengelola SDM sebagai coach punya formasi idaman, 4-2-3-1 yang lagi happening pun dipersiapkan, disesuaikan dengan kondisi permainan di lapangan. Masalahnya adalah menumpuknya perempuan di suatu unit dan daerah tertentu karena sulit untuk digeser (parkir semi permanen), walaupun ada talent di belahan lain Indonesia yang sudah jadi bidikan talent scout untuk rencana suksesi, atau yang baru lulus dari akademi binaan ataupun yang baru dibeli dari jendela bursa transfer.

Pasangan suami isteri yang sama-sama bekerja Dirjen Perbendaharaan juga lumayan angkanya, juga tak kalah yang suami/isterinya bekerja di eselon I lain di Kemenkeu. So… sanggupkah kita mengintervensi Tuhan untuk menceraikan mereka hanya untuk merapihkan komposisi ? perbuatan itu sangat dilaknat menurut saya. Apakah kita berikan saja opsi untuk salah satu pasangan saja yang berhak bekerja, supaya tidak ada conflict of interest dan sangat memudahkan dalam merotasi, sehingga memberikan kesempatan pegawai lain yang layak merumput dan memang sudah waktunya berpindah.

Program Pensiun Dini dengan Kompensasi Khusus yang pernah kita perjuangkan merupakan salah satu alternatif solusi merapihkan komposisi dengan rightsizing, termasuk rasio gender didalamnya. Tapi apa daya kita, pemangku kebijakan (Menpan RB) selaku dirijen lebih suka membawanya ke panggung nasional. Halooo apa kabarnya tuh RPP ?

Is not about the money… memang kita akui fundamental ekonomi keluarga menuntut sumber pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan di era modern dan kapitalis ini, sehingga dua pintu penghasilan dianggap menjadi garansi. Masih percayakah  kita bahwa Tuhan akan memberikan rezeki sesuai proporsi dan tanggungjawab hambanya. Kekayaan bukan dari jumah uang yang diraih, tapi nilai manfaat atau barokahkah uang itu. Jangan-jangan kita tidak menikmati uang itu walaupun lumayan banyak diberikanNya?

Peranan seorang ibu dalam keluarga sangat vital, status ibu rumah tangga juga merupakan karir khusus karena mereka dimuliakan suami dan Tuhan, tidak hanya oleh pemberi kerja. Normalnya, setiap pagi meja makan dihiasi percakapan keluarga, sang ayah bertanya tentang progres pendidikan anaknya, ibunya menyiapkan sarapan dan bekal sekolah anaknya. What a wonderful world… tapi bagaimana mungkin, ayahku kerja di luar kota/luar jawa dan ibu harus pergi ke kantor jam 6 takut ketinggalan angkutan dan terjebak macet. Anak-anak kita adalah emerging asset & instrumen investasi jangka panjang. So… apakah kaum hawa perlu meredefinisi karir ?

Kehilangan hangatnya atmosfer keluarga karena LDR (Long Distance Relationship) bisa membuat potensi penyimpangan, para bulok (bujang lokal) rawan mencari Plh atau Plt isteri/suami. Tak heran, trending kasus di DJPBN adalah perceraian dan masalah keluarga. Wajar saja karena nilai interaksi kontak fisik tidak bisa menggantikan keintiman virtual. Lagi-lagi mutasi menjadi episentrum masalahnya, sebuah keniscayaan dengan konsekuensi yang berdampak besar pada setiap episode hidup Insan Perbendaharaan.

Sekadar menawarkan solusi aspiratif gender nan humanis, misalnya pada kebijakan jam kerja. Jika di DKI Jakarta ada flexi time, bagaimana kalau kita terapkan di seluruh daerah juga dengan pertimbangan aspiratif gender bukan hanya alasan kemacetan saja. Misalnya, para wanita masuk kerja agak telat dan pulang kerja lebih cepat (masuk jam 9 pulang jam 4) dengan pertimbangan untuk mengurusi urusan rumah tangga, akan tetapi harus siap dengan konsekuensi finansial. Grade/TKPKN disesuaikan, tunjangan, honor dan lain-lain pun  demikian. Toh jam kerjanya pun sedikit dan sebanding dengan kinerjanya serta positifnya mereka bisa lebih khusyu membangun keharmonisan. Jadi prinsip work-life balance tidak hanya dipermukaan saja dan jadi konsumsi di meja rapat tanpa aksi konkrit. Pegawai senang, organisasi pun senang. Itu mungkin satu suara dari seakar rumput yang dipandang sebelah mata. Silahkan yang punya pendapat gila lain ditunggu, semoga memberi efek resonansi.

Selamat bekerja.

el-bantani

Pecandu kopi, penikmat seni dan pencinta wanita

@atapmerah, Jakarta

PMK dzolim, sebuah anomali (I like Monday notes)

Employee engagement survey DJPBN 2013 hasilnya sudah bisa terlihat, walaupun belum secara resmi dirilis Bagian Adm. Kepegawaian yang akan diperkaya dengan sentuhan akademis dan estetis. Secara agregat indeksnya 4,20 (engaged), tapi yang menarik ada 6 (enam) indikator yang berada dibawah indeks 4 dan perlu extra ordinary kebijakan yang lebih konkrit, yaitu :

  1. Gaji dan tunjangan
  2. Pola karir
  3. Kesempatan diklat, melanjutkan studi dan beasiswa
  4. Kesempatan mengkomunikasi pengembangan karir
  5. Apresiasi yang memadai
  6. Komunikasi atas kebijakan yang berdampak langsung pada pegawai

Jika satu persatu kita bedah, saya rasa tidak cukup dalam satu postingan ini. Setiap indikator satu sama lain sangat berkaitan dan ketika dianalisis pengaruhnya sangat signifikan terhadap engagement pegawai. Pada kesempatan ini saya pilih nomor 3 untuk di highlight pemangku kebijakan.

careerDevelopmentMain

Pintu masuknya adalah bermula dari komentar teman saya sewaktu rapat membahas hasil survei ini, ketika itu rapat hanya dihadiri satu orang pejabat dari DJPBN (karena yang lain berhalangan hadir) dan beberapa pelaksana Bagian Administrasi Kepegawaian. Ironisnya pejabat dari instansi lain yang kami harapkan datang, tidak hadir dan hanya mewakilkan pada seorang pelaksana, itu pun boleh dibilang newbie. Komentar itu tentang anomali kebijakan rekrutmen dengan kesempatan pengembangan diri (diklat, studi, beasiswa), headline-nya UPKP DIHAPUS, REKRUTMEN GOL. III JALAN TERUS. Saya pun bingung mereka memakai rumus atau teori apa untuk mengitung kebutuhan/formasi SDM. Alhamdulillah pejabat dari DJPBN berkomentar tentang hal serupa dan mengkritisi pola pikir yang menganggap gemuknya jumlah golongan III menjadi suatu masalah, tapi rekrutmen golongan III jalan terus sementara UPKP dihapus. so… buat apa pemetaan kinerja dan kompetensi dibentuk jika hanya kelengkapan administratif  (golongan) menjadi syarat yang diutamakan. Saya tidak mau membahas PMK dzolim itu, saya hanya membaca PMK itu satu kali dan langsung paham saya dijegal. Saya harus bersyukur dengan keadaan sekarang dan yakin bisa menunjukan kilauan mutiara walau didalam lumpur sekalipun, sunbright like a diamond, hahahahaa…

Sudah bosan kerap kali mendengar beberapa teman yang ngedumel tentang UPKP dihapus, bahkan sumpah serapah dialamatkan kepada menteri yang menciptakan Pancasila baru yang lebay, inefisien dan tentunya ngerepotin orang daerah jika ada value gathering. Ingat, Pancasila itu terbentuk dari penggalian akar budaya nusantara dan inspirasinya lahir di Ende (NTT) melalui perenungan panjang, bukan dibentuk dari konsultan pencitraan melaui rapat-rapat di hotel berbintang. Apa kabar Nilai-Nilai Kemenkeu, are you still alive ? apakah saya masih boleh pake busana casual walaupun sopan, kaleng kerupuk masihkah menjadi barang haram di ruangan, 3S, 5R, change agent dan lain-lain. Soekarno Fiskal itu sekarang lagi di uji di medan moneter, sanggupkah dia menstabilkan nilai tukar? Semoga berhasil Pak.. Saya pribadi tidak menyalahkan beliau semata, tapi pembisik dan inisiator munculnya PMK dzolim itu.

Syarat mengikuti beasiswa S2 adalah minimal Gol. III/a. Karena tidak ada UPKP kami harus menunggu 16 tahun, umur sudah 35/36 tahun atau lebih pada saat itu, semangat belajar menurun ilmunya pun meluntur karena menunggu kelamaan, ijazah mau dikemanain sampe lebih dari 4 tahun gak berguna sejak lulus. Derita lo… kalau kata alayers zaman sekarang. Jika mencoba blusukan beasiswa non Kemenkeu khususnya ke luar negeri dan andaikan lulus, statusnya bukan tugas belajar karena yang berhak mengikuti pendidikan S2 kedinasan maupun di luar kedinasan tetap harus mencapai golongan III/a terlebih dahulu. Konsekuensinya cuti diluar tanggungan negara dengan gaji dan TKPKN tidak dibayar dan argo pangkat/masa kerja berhenti. Jadi anak isteri hanya makan rasa bangga gitu ?

Ini mungkin saatnya memperjuangkan barisan terdzolimi itu. Langkah pertama dengan menginisiasi dan eksekusi engagement survey. Dengan dibantu pihak independen (Tim Asistensi Metodologi IPB), hasil survei ini saya harap dapat membangun kepercayaan pimpinan kita. Dengan kajian akademis saya harapkan lebih elegan dalam bertutur dan biar angka yang berbicara, dari pada ngeblog gak jelas, komen di forum atau mencak-mencak tidak pada tempatnya.

Langkah kedua, saya ingin mengajak teman-teman mengkaji dari aspek legal (hukum) tentang kedudukan PMK ini. Langkah ketiga, ajukan secara resmi melalui institusi. Langkah keempat, perjuangkan. Langkah kelima, berdoa.

Jika kita flashback, betapa mereka harus berusaha keras untuk melanjutkan kuliah di daerah. Waktu itu belum era euphoria tawaran beasiswa seperti sekarang. Mereka dituntut mengelola waktu antara kerja, kuliah dan kehidupan sosial. Manajemen keuangan untuk biaya kuliah, ongkos tiket pulang kampung dan pemenuhan kebutuhan biologis sehari-hari pun tak kalah menantangnya. Mereka berperan seperti false nine player di kantor, dengan karakter yang dominan saya lihat biasanya pekerja keras, bertanggung jawab, skilled, techno savvy dan kreatif/inovatif, walau tak sedikit juga sebagai penyulut konflik/trouble maker, maklumlah mereka masih tergolong Generation Y. Yang saya kenal dari mereka ada yang menjadi programmer dengan legacy aplikasi yang sampai saat ini digunakan dan bermanfaat, jurnalis handal, fotografer bertalenta, penyelamat data server di saat tsunami, sehingga satker bisa terbayar gajinya walaupun bencana melanda. Saya yakin masih banyak dari mereka yang jadi pemain kunci dan secara hakiki engage terhadap organisasi. So… begitukah organisai menghargai mereka ? Jangan heran kalau angka pengunduran diri meningkat, yang nekat dan punya bekal cukup untuk berjuang diluar bumi Perbendaharaan mungkin pilihan yang tepat. Tapi lilitan kredit hunian, kendaraan, kebutuhan ekonomi keluarga dan lain-lain jadi pertimbangan untuk masih bertahan.

Ada satu hal yang aneh dan tidak jelas asbabun nuzul-nya, Mereka (Biro SDM) menyebar kertas survei tentang penilaian atasan terhadap kinerja pegawai lulusan DI, DIII dan Sarjana angkatan tertentu. Jika tidak dijelaskan, hal ini berpotensi memperuncing hubungan angkatan kerja dengan mendikotomikan almamater atau jalur masuk, padahal issue itu sangat basi untuk dibahas karena iklim kompetisi sudah biasa kita alami, asalkan jangan dijegal yang menimbulkan potensi dendam di kemudian hari. Sebenarnya tidak perlu di survei karena fakta di lapangan sudah bisa terbukti kualitas masing-masing, mohon maaf ada yang hanya piawai mengurusi konsumsi dan administratif padahal tidak sebanding dengan golongannya, jam 5 teng pulang seperti di pabrik panci, sementara yang lain berjibaku menyelesaikan pekerjaan yang urgen dan mencoba ber-discressionary effort. Saya khawatir barisan terdzolimi  itu terdemotivasi dan apa jadinya Ditjen Perbendaharaan ini. Mereka terlalu lama menghangatkan bench, berikan mereka kesempatan jadi starting line up dan bermain reguler mungkin kewajaran kodrati (Fadly-Padi) bagi mereka.

Keganjilan lain juga muncul saat akan diatur mengenai tata cara exit interview (wawancara pengunduran diri) yang akan dituangkan dalam KMK atau SE. Didalamnya diatur golongan/jabatan pewawancara, tata cara dan tetek bengek teknis pelaksanaan exit interview. Yang seharusnya diambil tindakan konkrit adalah evaluasi kebijakan atas penyebab kenapa mereka keluar, bukan hukum acaranya yang dibikin (tepuk jidat).

Apakah kadar empati dan keindonesiaan pemangku kebijakan itu masih kurang ? dari sisi wawasan nusantara saya rasa jelas kurang, karena mereka hanya mengunjungi daerah secara temporer (ST bukan SK, itupun  mereka memilih yang mudah dijangkau), mereka bilang Putusibau (Kalbar) bukan remote area karena ada penerbangan kesana (LoL). Bukankah di biro sana banyak ahli ekonomi atau ilmu sosial yang fasih menerjemahkan PDRB, IPM, inflasi dan indikator makro ekonomi serta sosial lain yang jadi pertimbangan status remote area. Masih banyak yang perlu dibenahi dan diambil hikmah, misalnya rekrutmen yang jelas akan posisi/jabatan dan lokasi yang ditentukan di awal pengumuman. Jangan sampai Perbendaharaan jadi baki penampung orang-orang yang cengeng ditempatkan di luar jawa dan lebih mementingkan kepentingan pribadi tapi organisasi tidak mendapatkan apa-apa dari mereka. Yuk.. kita siapin kalkulator untuk menghitung cost and benefit-nya, berapa biaya rekrutmen, biaya pembekalan, DTSD, prajabatan, TGR bagi yang beasiswa dan ikatan dinas, gaji/TKPKN dll, lalu kita kuantitatifkan sumbangsih kinerja mereka. sanggupkah? Jangan sampai DJPBN terjadi gejala brain drain karena organisasi ini sudah tidak nyaman lagi untuk dihuni dan berpindah ke lain hati yang lebih sexy, tidak hanya sekadar intensi. Maaf jika terlalu sentimental dan menggelora karena hari ini hari Senin and this coffee ignite inspiration within.

Selamat bekerja…

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni

@thecoffeebean, Penvil Jaksel

From zero to zero (sebuah catatan di tepi negeri)

Di awal bulan Agustus pasca Idul Fitri kami sekeluarga berkesempatan mengunjungi pulau cantik diujung negeri, Sabang. Destinasi wisata yang terus bersolek dan dikelola profesional untuk menciptakan efek multiplier di negeri yang menyimpan kekayaan budaya luhurnya, Aceh. Keanekaagaman biota laut jadi daya tarik utama kami berkunjung, sayang jika tidak mengintip bocoran surga bawah laut di Iboih dengan snorkeling atau diving. Sebuah kepingan mata uang berharga bagi kami terutama Indira dan Danesh untuk kelak dapat ditukar dengan rasa syukur atas limpahan karunia Allah yang maha indah.

Pantai-Iboih-Sabang

Kecerian mereka seakan menghapus kegalauan akan karir saat ini. Your job is not your career (Rene Suhandono) setuju banget…. Lupakan sejenak penat, ada peradaban di luar sana untuk dinikmati. Kembali ke Sabang…. Tugu 0 kilometer sebagai Al-fatihah NKRI, jalan menuju kesana cukup ekstrim, tikungan, tanjakan, turunan tajam dihadapi, tapi Alhamdulillah mulus aspalnya. Ini kali kedua saya menginjakan kaki di tugu ini, ya… hidup ini pun tak ada salahnya kembali dari titik 0.

Bertemu sahabat lama (Balqis Guidotti) yang memiliki sebuah cottage di sana (Casanemo) adalah hal yang paling ditunggu isteriku. Sebuah pasangan lintas kultural (Aceh-Swiss berkebangsaan Italia) yang berkolaborasi manis membangun bisnis hunian temporer pelepas penat. Padu padan sentuhan Indonesia dengan cita rasa Eropa tersaji dari mulai menu, musik dan suasana. Semoga makin sukses… maaf kami belum sempat komen di Trip Advisor dan Lonely Planet.

Berkunjung kesana juga cukup mudah dan terjangkau jika dari Banda Aceh, hanya 45 menit dengan menaiki kapal cepat. Tarif penginapan yang beragam dan kompetitif dirasa cukup terbayar dengan keindahan yang disajikan. Sampai jumpa kembali Sabang…

Perjalanan berikutnya adalah khataman NKRI, Papua di medio Juni 2013. Sebagai traveller plat merah, sayang untuk tidak mencuri waktu setelah tugas negara selesai. Sebenarnya ini kali ke tiga saya ke Jayapura, tapi di dua kesempatan sebelumnya belum sempat ke titik yang saya tuju. Titik itu adalah perbatasan Papua dengan Papua Nugini.

skouw

Sekitar 1,5 sampai 2 jam menempuh waktu dari Jayapura. Tekstur jalannya pun bersahabat dan beginilah seharusnya kita menjaga setiap jengkal tanah NKRI, apalagi diperbatasan. Ada hal yang ingin saya lakukan selain berfoto di gerbang perbatasan itu, yaitu bertransaksi di pasar Skouw. Daerah itu masuk teritori Indonesia dan menerima dua mata uang (Rupiah dan Kina). Segala macam komoditi disajikan, bangganya yang saya rasakan adalah penduduk Papua Nugini ataupun pekerja asing yang berada di perbatasan membeli kebutuhannya di pasar itu. Bapak Gita Wirjawan, tolong perhatikan mereka di Pasar Skouw.

Eksotisme Papua sebenarnya tidak akan habis dalam satu abad kedepan. Saya tidak cukup mumpuni membahas eksploitasi kekayaan alam Papua seperti di Timika, tapi merasa terhutang jika tak mengerutkan dahi bila memperhatikan pengelolaan energi di negeri ini. Dana otonomi khusus, Trust Fund, Sovoreign Wealth Fund atau apapun namanya untuk pembangunan Papua kami harap dapat dikelola dengan baik. Memang di Jayapura sudah berdiri pusat perbelanjaan modern dengan gerai kopi global menduduki dan tata kelola kota pun sedikit lebih teratur, tapi  bukan itu sebenarnya indikator kemajuan sebuah pembangungan daerah, itu mungkin jawaban saya pada pak sopir yang menemani selama disana, huge thanks to you Om Yance.

Indonesia has a long time milestone of ups and downs for centuries, but we have never given up. We always rise and amaze the world and bring back hope to our people. And now it’s your time to believe and bring in aspiration to our beloved nation. Tanahku yang kucintai… engkau kuhargai…

el-bantani

Pecinta kopi, penikmat seni

Laporan Hasil Survei Kepuasan Pegawai Tahun 2012

Image

Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan mutu pelayanan serta untuk mengetahui kinerja instansi dalam meningkatkan motivasi dan kepuasan pegawai, pada tahun 2012 Kementerian Keuangan telah melaksanakan Survei Kepuasan Pegawai.

Dapat kami laporkan bahwa tingkat partisipasi responden Ditjen Perbendaharaan sejumlah 7.637 pegawai atau 91,10% dari populasi. Sedangkan Indeks kepuasan agregat lingkup Ditjen Perbendaharaan mencapai 3,42 (puas) dari skala 5, atau lebih tinggi dari indeks agregat lingkup Kementerian Keuangan sebesar 3,39.

Persentase kepuasan pegawai Ditjen Perbendaharaan yang menyatakan “puas” sebesar 70,69%, “kurang puas” sebesar 22,88% dan “tidak puas” sebesar 6,43%. Jika dibandingkan dengan lingkup Kementerian Keuangan persentase yang menyatakan puas sebesar 65,73%, atau diatas rata-rata seluruh pegawai Kementerian Keuangan.

Berdasarkan hasil analisis yang diperkaya dengan indepth interview di beberapa kota yang dilakukan oleh Tim Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Pusat (TRBTKP) Kementerian Keuangan, terdapat keterkaitan tinggi antara variabel “imbalan”, “supervisi” dan “rekan kerja”. Sedangkan untuk variabel “mutasi” menunjukan range sebaran responden paling besar antara “sangat puas dan puas” dengan “sangat tidak puas dan tidak puas”.

Adapun indikator yang harus menjadi prioritas utama untuk dilakukan perbaikan adalah “memadainya asuransi kesehatan” dan “konsistensi penerapan pola mutasi” karena kedua variabel tersebut mencapai tingkat kepuasan rendah, akan tetapi tingkat/persepsi kepentingan yang dirasakan pegawai sangat tinggi.

Untuk mengeksplorasi informasi tambahan yang bersifat kualitatif dan untuk melengkapi/menjelaskan data kuantitatif hasil survei, dilakukan Indepth interview di beberapa kota antara lain, Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Balikpapan, Surabaya dan Makassar.

Dari hasil indepth interview tersebut, terdapat hal-hal yang perlu perhatian Ditjen Perbendaharaan, antara lain sebagai berikut :

1.   Kesesuaian besaran TKPKN dengan kompetensi, proses dan hasil kerja/output.

2.   Perhatian terhadap pegawai di daerah.

3.   Asuransi kesehatan yang kurang memadai karena cakupan yang terbatas dan diusulkan untuk meng-cover sampai anak ke-3.

4.   Dari aspek pola mutasi, rasa tidak puas muncul akibat lokasi kerja yang cukup jauh dengan keluarga, waktu mutasi yang bentrok dengan waktu anak sekolah dan melanjutkan kuliah atas inisiatif sendiri.

 

Berkaca pada variabel atau indikator hasil survei kepuasan pegawai yang mencapai indeks rendah, Ditjen Perbendaharaan telah menyusun rencana tindak lanjut dalam rangka perbaikan dan peningkatan pelayanan sebagai berikut :

1.   Asuransi Kesehatan

     Ditjen Perbendaharaan dan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan akan mengkaji dan mencoba menjajaki kerjasama dengan perusahaan asuransi yang dapat mengakomodir kebutuhan pegawai.

     Memberikan layanan medical check-up gratis setahun sekali, misalnya pada saat kegiatan Rapat Pimpinan atau Workshop Persiapan Pensiun.

     Jika tidak memungkinkan untuk ditanggung instansi, tambahan biaya asuransi selain ASKES dapat dipungut dari setiap pegawai yang disesuaikan dengan kemampuan.

     Berupaya memberikan layanan/jaminan keselamatan dan kesehatan terutama di daerah konflik atau rawan bencana.

2.   Mutasi/Rotasi Pegawai

Menyusun pola mutasi yang menyelaraskan kepentingan individu dan organisasi dengan berbagai pertimbangan antara lain, profil kompetensi dan kinerja, riwayat mutasi, timing dan pergerakan sesuai zona mutasi, waktu yang disesuaikan dengan kalender akademik, kemudahan akses transportasi, berupaya mendekati/sesuai preferensi penempatan, pensiun dan homebase, insentif transportasi remote area dan memperbaiki/menambah fasilitas rumah dinas terutama untuk pelaksana.

 

3.   Pemberian apresiasi/penghargaan bagi pegawai yang berprestasi

Ditjen Perbendaharaan dan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan akan menyusun  peraturan atau kebijakan tentang reward yang lebih jelas dan memberikan motivasi dan engagement pegawai. Penghargaan akan diberikan kepada pejabat/pegawai teladan/berprestasi dalam beberapa kategori dan bukan hanya sekadar memenuhi syarat administratif dan masa kerja. Adapun bentuk reward akan diberikan baik dalam bentuk materi maupuan non materi.

4.   Pemenuhan asas keadilan penetapan grading (TKPKN) antar jabatan yang setara

Ditjen Perbendaharaan berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan akan terus mengevaluasi peraturan tentang grading pegawai guna memenuhi asas keadilan yang dirasakan pegawai/pejabat dan manfaat yang sepadan dirasakan organisasi.

 

Pada kesempatan ini dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan perkembangan ilmu manajemen SDM modern, tingkat kepuasan pegawai bukan satu-satunya dashboard indikator kinerja pengelolaan SDM. Terdapat aspek lain yang signifikan dan perlu dilakukan pemetaan yaitu employee engagement. Employee Engagement adalah sebuah konsep yang menggabungkan kepuasan pegawai dengan keterlibatan/kontribusi pegawai dalam mencapai visi dan misi organisasi yang dapat diukur dengan instrumen kuisioner survei.

Employee Engagement Survey juga bertujuan untuk memperkaya hasil survei kepuasan pegawai tahun 2012 dan untuk keperluan analisis korelasi dengan profil kompetensi serta capaian kinerja pegawai yang telah dipetakan dalam 9 (sembilan) kuadran. Program Employee Engagement juga telah ditetapkan dalam sasaran strategis Grand Design Pengelolaan SDM Ditjen Perbendaharaan tahun 2013 s.d. 2017 dan akan mulai dilaksanakan pada tahun 2013.