Lipatan Adegan Cangkir

Image

Menerima tawaran kerlinganmu, sama seperti beberapa bulan lalu, saat kau membeli kesan untuk ditukar kemudian. Malam itu, saatnya kau menukarnya dengan ajakan rebahan lelah, hanya untuk rehat dari penat penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), “hanya sejenak” ujarnya. “Aku hanya ingin larutkan pembicaraan dalam sebuah cangkir, Aku rindu pegangan eratmu di pinggang cangkirku, ada banyak yang terserak yang seakan mengerak jika tidak dituangkan tepat di cangkirmu” sekali lagi dia memintaku.

***

Kurasa aku mulai tersesat di selasar pendopo kasultanan, “dimana Maulana Hasannudin ?,  aku ingin menyelip di Surosowan, aku tak ingin terisolir di Kanekes, aku ingin berlindung, berlindung di balik keshalihanmu,  Syekh Nawawi Al-Bantani.

 “Maaf pak Tubagus, Saya tak bisa terima tawaran itu, kagok ari salembur mah, bisi kabeulit politik dinasti, siga nu keur rame diberitakeun di TV tea.

***

Kamu memilih pilihan biji-biji kopi yang sudah kutebak, tapi itu tak tersedia karena malam yang tak merestuinya, bukan karena gangguan cuaca atau rantai pasokannya. Lalu ku tawarkan pilihan biji-biji kopi resmiku, sudah bisa kutebak kamu tak kuasa menolaknya.

Sluuurp… sluuurp… aku menikmatinya. “Gimana sih caranya” dia berujar manja. Sepertinya dia terkesima dengan french press dihadapannya. Lalu secara lembut perlahan dia menekannya serupa mengikuti tekananku. Lalu dituangkannya tanpa pemanis sebulirpun, dia mencoba menikmatinya tanpa sehelai rasa lain mengintervensi, tanpa silouet sachet-an. Aku tahu kau merasakan pahit keasaman, persis seperti tertera di lipatan lidah dan binar rona dibawah matamu. Kita memang bukan cupper sejati, tuangkan saja beberapa bulir biar terasa manis, semanis ajakanmu malam ini.

***

“Aku tunggu di bangku taman putro phang”, aku hanya pinjamkan kalimat ini untuk kamu kembalikan nanti di tanggal 17 Desember 2008. “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? dan saling menyayang bila ada ruang?”. Kurasa kita sudah jelas diarahkan oleh Laksamana Keumalahayati, sang nahkoda cinta kita, bukan Dewi Lestari.

“Bun… nanti malam ada tamu dari Istanbul, dia utusan Sultan Selim II, bikin timpan atau pulut yah !, jangan lupa juga beli kopinya di Solong

***

Disela pembicaraan, aku berikan sebuah karya sastra yang terangkai indah dan saling terpagut satu sama lain, karya itu dari seseorang yang menurutku fasih memahami kedua cerita yang punya benang merah itu. Bukan kebetulan, itu adalah pengganti biji-biji kopi yang tidak tersedia malam ini, berasal dari dataran tinggi  yang sama. Sesaat kemudian, kamu bersemedi diatas iPad-ku, menikmati dan memangkunya hangat. Bayanganku membawa lipatan masa sewaktu menyusuri jalanan Pontianak-Sanggau, sebuah lintasan dimana kopi dinikmati secara hitam, persis sehitam bijinya. Sebuah kriminalisasi, seharusnya kopi dinikmati suci dengan selaksa filosofi.

***

Kamu mulai mengajaku berlayar dengan pinisimu, walaupun sempat singgah di Labuhan Bajo, tapi tetap kamu tawarkan kapurung dan konro bakar sebagai menu utama, yang tentunya dinikmati sambil duduk pada bilahan papan di bibir pantai pulau Selayar, sambil menunggu senja, senja yang tak diburu atau dibeli, tapi digandrungi. Maaf, aku ditunggu kabut pagi di Kintamani dan senja di Kaimana untuk mempresentasikan Kajian Fiskal Regional (KFR). Sebenarnya aku mau KFR-ku bisa menggapai tingginya ombak di Simeleu dan melayang diatas langit Grasberg.

***

“Sepertinya kita ada yang memata-matai”. Siapa ? dia adalah komitmen kita, sebuah ucapan sakral yang disaksikan langit dan Tuhan tentunya.

“Sepertinya pembicaraan kita disadap”. Siapa yang sadap ? dia adalah prasangka negatif aku, kamu, kita, kalian dan mereka.

Lights will guide you home, and ignite your bones, I will try to fix you”, Christ Martin-Coldpay mengalunkankan indah lirik lagu yang menjadi penutup hari ini.

“Sepertinya kita harus mengakhirinya” Kenapa ? karena perempuan di belakangku mengajak pulang. “Kenapa bukan aku yang kau ajak, kenapa ?” karena kamu akan selalu ku ajak di saat aku tak bersama kalian dan mereka yang memata-matai dan menyadap kita.

“I think that possibly, maybe I’m falling for you….  I never knew just what is was, about this old coffee shop I love so much, all of the while I never knew” (Falling in love at a coffee shop, Landon Pigg).

***

@anomali coffee

Setiabudi, Jaksel

 

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni

 

*terinspirasi oleh percikan karya-karya pegawai Ditjen Perbendaharaan dalam Lomba Unjuk Kisah Nusantara (Lukisan) tahun 2013.

Leave a comment