Menuju Pubertas Global (publish or perish)

“He who rejects change is the architect of decay”

-Harold Wilson.

Seorang anak berusia sepuluh tahun berlari kencangtak kenal lelah menuju sekolahnya. Betapa senangnya dia sudah bisa melewati pelajaran fundamental seperti membaca, menulis dan berhitung. Saat ini dirinya sedang menempuh mata pelajaran dasar pendukung sebagai bekal untuk menapaki jenjang pendidikan berikutnya.

Beranjak remaja, dia diberikan pekerjaan rumah untuk menjaga semangat belajarnya tetap tinggi diantara tantangan gejolak masa pubertas. Dirinya akan belajar memilah pergaulan, menjalani hobi, mengasah bakat, hingga mencari jati dirinya.

Ditjen Perbendaharaan sebagai organisasi besar yang akan memasuki usia satu dekade dapat dianalogikan dengan seorang anak pembelajar yang beranjak remaja. Fase fundamental menjalankan agenda reformasi keuangan negara telah dilalui, salah satunyapembentukan KPPN Percontohan yang berhasil melakukan simplifikasi proses bisnis dan penanaman integritas SDM, walaupun dalam perjalanannya menemui sedikit turbulensi.

Dalam menjalani masa pubertas, Ditjen Perbendaharaantelah dibekali kompas dalam format Cetak Biru Transformasi Kelembagaan tahun 2014-2025 yang disusun oleh McKinsey & Company dengan pengawalan implementasi oleh Project Management Office (PMO). Jati diri Treasury akan fokus menjalankan 4 (empat) fungsi, yaitu pencairan dan penerimaan anggaran, pengelola likuiditas, akuntansi dan pelaporan serta special mission.

“Change is the only evidence of life”, Evelyn Waugh. Sejatinya perubahan merupakan pertanda kehidupan. Perubahan bersifat misterius namun pasti, butuh ekstra usaha dan akan dihadapkan pada resistensi, karena tidak semua pihak bisa melihat cahaya perubahan, apalagi siap diajak berlari kencang dan terkena hujan. Strategi perubahan yang ramah tentunya akan disiasati melalui change management yang memperhatikan perilaku dan kesiapan pemangku kepentingan.

Menghadapi perubahan perlu segenap persiapan, baik dari aspek internal maupun eksternal. Berbagai gagasan dan kiat menghadapi perubahan banyak disajikan dalam berbagai literatur. Pada postingan ini penulis mencoba menyumbangkan beberapa gagasan berikut.

Pertama, less is more. Konsep ini tak hanya menjadi jargon dunia desain grafis dan tata ruang, namun juga relevan dengan pengelolaan perubahan. Sesuatu yang berpostur ramping biasanya akan sangat lincah mengikuti gerakan perubahan yang akan terus menggeliat. Sasaran jangka menengah dan panjang yang akan dicapai Ditjen Perbendaharaan akan ditopang dengan tiga pilar yang sejalan dengan reformasi birokrasi Kementerian Keuangan, yaitu proses bisnis, kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Pada pilar proses bisnis, organisasi dituntut untuk melakukan penyederhanaan pekerjaan yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi namun dapat disajikan dengan casual, ringkas waktu, namun tanpa mengurangi esensi. Pada pilar kelembagaan juga demikian, desain organisasi yang ramping, efektif dan berpegang pada prinsip minim struktur-kaya fungsi sangat diharapkan. Sedangkan pada pilar SDM, dapat ditempuh proses rightsizing komposisi dengan tetap berpegang pada manajemen SDM berbasis kompetensi dan sistem merit.

Kedua, collaborative based action. Kelemahan berbagai institusi di negeri ini adalah pada tahapan eksekusi kebijakan. Memperhatikan aspek kualitas, kredibilitas dan independensi, dalam pelaksanaan program strategis Ditjen Perbendaharaanbiasanya dibantu oleh pihak profesional yang berkompeten sebagai penyedia barang/jasa, namun terdapat hal-hal yang perlu menjadi perhatian serius, seperti tingkat ketergantungan tinggi dan inefisiensi waktuserta biaya. Penulis berpandangan bahwa pelaksanaan program strategis kedepan dapat dijalankan dengan memberdayakan talent internal yang dibekali dengan berbagai kompetensi, tersertifikasi profesional dan berkonsentrasi khusus dalam pelaksanaan program berkenaan. Dalam hal ini keberadaan profesional tetap dibutuhkan, namun peranannya sebagai pihak yang memberikan asistensi dan penilai.

Ketiga, leading by example. Pemimpin dalam proses perubahan berperan sebagai agen perubahan sekaligus menjadi role model. Pemimpin diharapkan dapatmemberikan ruang yang luas pada setiap pegawai untuk berfikir progresif, visioner, kreatif dan menghasilkan sesuatu yang membawa pengaruh besar. Pemimpin yang open minded mampu menciptakan rangsangan maupun atmosfer bagi setiap pegawai untuk thinking out of the box, execute inside the box. Berbagai terobosan atau inisiasi strategis biasanya terbentur dengan ruang kebijakan yang sempit,atau batasan kewenangan dalam mengeksekusi kebijakan. Pada situasi seperti ini, dituntut pemimpin yang berada di depan memperjuangkan perubahan dengan mengajak setiap pemangku kebijakan untuk menyamakan visi dan mencari solusi bersamaserta mampu mendobrak dinding ego sektoral.

Keempat, think global, act global. Prinsip ini sejalan dengan visi Ditjen Perbendaharaanuntuk “Menjadi pengelola Perbendaharaan Negara yang unggul di tingkat dunia”.Berdasarkan hasil survei Price Waterhouse Coopers Network Leadership 2014, terdapat 5 (lima) isu global yang mengemuka, antara lain demographic shifts, technological breakthroughs, resource scarcity & climate change, accelerating urbanisation dan shift in global economic power.Upaya pencapaian visi di atas akan lebih sejalan bila dibarengi dengan merespon isu global dengan mampu mengambil perananpenting di dalamnya. Peranan sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah yang telah diemban akan lebih membanggakan lagi jika dapat menjadi representrasi Kementerian Keuangan pada tingkat global.Untuk itu, cetak biru transformasi kelembagaan yang disusun hendaknya dapat memasukkan unsur daya jangkaupenetrasi peranan Ditjen Perbendaharaan dalam percaturan global. Pandangan lebih jauh terhadap isu globaldi atas dijelaskan berikut ini.

Pada isu demographic shifts, berbagai negara akan menghadapi tantangan bonus demografi yang membawa dampak sosial ekonomi yang begitu besar. Pada tahun 2050 lebih dari 360 juta pekerja senior akan digantikan oleh angkatan kerja baru. Di Indonesia pada tahun 2020-2030, komposisi usia produktif mencapai 70% persen berbanding 30% penduduk usia non-produktif. Situasi ini perlu didukung dengan program pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan untuk menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi.Pada isu ini Ditjen Perbendaharaan dapat lebih berperan dengan mengoptimalkan tugas dalam spending review maupun Kajian Fiskal Regional (KFR) yang bersifat tematik dan mengkonsentrasikan pada sektor pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, atau sektor lain untuk menyikapi tantangan bonus demografi.

Isu technological breakthroughs akan terus berkembangpesat seperti pada bidang komunikasi dan informasi, robotik dan kecerdasan artifisial.Kemajuan teknologi menjadi salah satu pemicu kuat percepatan pertumbuhan ekonomi sampai akhir dekade ini. Dengan perubahan paradigma kerja Ditjen Perbendaharaan yang lebih analitis, pelaksanaan pekerjaan akan banyak terbantu dengan kecanggihan teknologi, namun tetap saling tidak menggantikan,atautetap berada pada koridor“memanusiakan manusia dan memesinkan mesin”. Teknologi biasanya akrab dengan angkatan kerja generasi Y (lahir 1981-1990) dan Millenium (lahir 1990 ke atas), namun menjadi kendala fungsionalisasi bagi generai X (lahir 1965-1980) dan operasionalisasi bagi Baby Boomers (lahir tahun 1945-1964). Kecanggihan teknologi juga mesti disikapi dengan perubahan perilaku pelaksanaan pekerjaan ke depan. Generasi Y dan Millenium cenderung memiliki preferensi bekerja lebih fleksibel, bekerja dapat dimana saja dankapan saja dengan berorientasi pada hasil. Sementara generasi lainnyamasih berprinsip bekerja konvensional, masih mementingkan interaksi fisik dan prosedural dengan tidak mengesampingkan proses dalam pencapaian hasil/tujuan.

Dampak isu resource scarcity & climate change mungkin tidak terlalu siginifikan dirasakan Ditjen Perbendaharaan, namun pada isu accelerating urbanisation perlu dipandang sebagai tantangan yang perlu dihadapi. Dewasa ini hampir setengah penduduk dunia berdomisili di perkotaan dan diperkirakan akan mencapai 60% pada tahun 2030 dan 72% pada tahun 2050. Ketimpangan pembangunan perkotaan dengan pedesaan menjadi pemicu percepatan urbanisasi, terlebih di negara berkembang seperti Indonesia. Fenomena seperti ini meski disikapi Ditjen Perbendaharaan sebagai organisasi yang memiliki instansi vertikal tersebar di setiap provinsi sampai ke tingkat kabupaten bahkan remote area. Fenomena global tersebut terkonfirmasi dengan data preferensi tempat kerja yang menangkap kecenderungan pegawai Ditjen Perbendaharaan yang lebih nyaman untuk bekerja di perkotaan karena ketersediaan fasilitas penunjang. Hal ini bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam transformasi kelembagaan yang dijalankan dengan perampingan organisasi sebagai salah satu opsinya.

Pada isu shift in global economic power, Indonesia termasuk sebagai emerging countries (E7) bersama China, India, Brazil, Rusia, Mexico dan Turki yang pada tahun 2009 mencetak Produk Domestik Bruto (PDB) 20,9 trilyun US dollar, atau menyaingi negara yang tergabung dalam kelompok G7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, Inggris, Italia) yang mencetak 29 trilyun US dollar pada tahun berkenaan.Pada tahun 2050 pergeseran kekuatan ekonomidiperkirakan akan semakin masif dan berbalik dari G7 ke E7 denganPDB138,2 trilyun US dollar berbanding 69,3 trilyunUS dollar. Fundamental ekonomi dan berbagai indikator makro ekonomi yang positif, menjadi rapor bagus pemerintahan SBY yangtentu akan ditingkatkan di era Jokowi. Menyikapi hal ini,Ditjen Perbendaharaan bersama Badan Kebijakan Fiskal, Bappenas, BPS, BI, Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah perlu bersinergi mendukung agenda ekonomi pemerintah. Perumusan kebijakan perekonomian yang handal dan berkualitas diharapkan dapat mendukung pemangku kebijakan mengambil keputusan yang strategis. Interaksi kelembagaan yang baik diharapkan dapat memicu upaya untuk menggali serta mengembangkan potensi ekonomi setiap daerah. Sebagai contoh, pemerintahan ke depan menargetkan desentralisasi pembangunan berbasis maritim dengan konektivitas antar pulau. Ditjen Perbendaharaan dapat mengambil peranan dengan melakukan spending review dan KFR tematik yang terkonsentrasi pada kajiandi sektor ekonomi berbasiskelautan dan mampu jeli menggali potensi pengungkit pertumbuhan ekonomi suatu daerah maupun nasional, seperti perhubungan, infrastruktur, pariwisata dan ekonomi kreatif.

Selain ditopang tiga pilar reformasi birokrasi dan beberapa gagasan di atas, segala upaya revitalisasiperan juga perlu didukung dengan strategi marketing yang menciptakan efek WOW, sehingga eksistensi Ditjen Perbendaharaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan dan konstelasi global dirasakan vital peranannya. Content is king, but marketing is queen.

***

el-bantani

pecandu kopi, pencinta seni

Leave a comment